PEMBANGUNAN PARIWISATA GUNUNG KIDUL DAN PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA

PEMBANGUNAN PARIWISATA GUNUNG KIDUL DAN PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA

A. Pendahuluan

Pariwisata merupakan sektor strategis yang mewadahi kewirausahaan bagi masyarakat Indonesia. Sektor pariwisata telah memberikan peluang untuk berbagai macam jenis usaha baik itu jasa maupun barang. Di satu sisi, sektor pariwisata menciptakan mata pencaharian alternatif yang dapat menopang ekonomi masyarakat lokal. Di sisi lain, sektor pariwisata dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian budaya dan pemanfaatan lingkungan.

Indonesia dikenal dengan beragam atraksi alam dan corak budaya yang tak terhitung jumlahnya, misalkan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta sangat terkenal sebagai daerah yang memiliki destinasi pariwisata yang tiada habisnya. Mayoritas pengunjung dikuasai oleh pariwisatawan dalam negeri sebanyak 99% dan pariwisatawan manca negara sebesar 1%. Sektor pariwisata juga diwarnai dengan beberapa macam jenis usaha yang diandalkan dalam distribusi ekonomi. Jenis usaha terdiri dari kuliner, tranfortasi, penginapan, penjualanan barang, tempat rekreasi, dan lain sebagainya (Nadhifatur Rifdah & Kusdiwanggo, 2024).

Menurut Giampiccoli, pariwisata (tourism) menjadi penggerak bagi perkembangan sosial-ekonomi, menciptakan lapangan kerja, serta mengembangkan infrastruktur wilayah. Sepanjang tahun 2024, pertumbuhan ekonomi di Yogyakarta terus meningkat dari kuartal kedua sebesar 4,95% menjadi 5,05% di kuartal ketiga. Kenaikan lain juga terjadi pada jumlah penanaman modal serta investasi di Yogyakarta, yaitu 1,8 triliun di tahun 2022, 3,7 triliun di tahun 2023 dan 3,8 triliun pada tahun 2024 (DPMPTSP DIY, 2024). Menurut Agus Priono, Kepala DMPST DIY, salah satu faktor terjadinya lonjakan investasi adalah "Pembangunan infrastruktur yang terus dikerjakan pemerintah untuk mendukung kelancaran aktivitas bisnis dan sektor pariwisata”(Harianjogja, 2024).

Salah satu lokasi pariwisata yang sedang menjadi fokus sasaran pembangunan pariwisata adalah Kabupaten GunungKidul Yogyakarta. Kabupaten ini berjarak sekitar 40 Km dari kota Yogyakarta dan memiliki 70 pantai yang tercatat secara administratif, Akan tetapi terdapat lebih dari 100 pantai yang dikelola baik itu oleh pihak swasta atau warga lokal GunungKidul. Hal ini membuat Kabupaten Gunungkidul menjadi destinasi wisata daerah pesisir yang sangat diminati oleh pariwisatawan. Berdasarkan data yangditunjukan dalam penelitian Agus Prayudi (2021), GunungKidul termasuk kabupaten yang dikunjungi banyak pariwisatawan dengan jumlah 3,68 juta pengunjung pada tahun 2019.

Selain itu, demi meningkatkan kenaikan ekonomi di sektor pariwisata Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X mendeklarasikan untuk memfokuskan pembangunan ke wilayah selatan Yogyakarta, khususnya Bantul dan GunungKidul. Rencana Strategis ini sudah dimulai sejak tahun 2023. Hal ini bertujuan untuk menanggulangi persebaran penduduk miskin di DIY yang berada di angka 12,8% dari total penduduk asli Yogyakarta (Harianjogja, 2022).

Wacana pariwisata memang terkesan sangat strategis dilihat dari manfaatnya di sektor ekonomi. Tetapi lain halnya jika kita membandingkan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan angka kemiskinan. Meski pariwisata telah berhasil menarik masuknya penanaman modal sebesar Rp. 551 miliar di tahun 2024, angka kemiskinan juga berada di angka 15,8% di tahun yang sama. Hal ini menunjukan bahwa sektor pariwisata belum menunjukan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat GununugKidul (BAPPEDA DIY, 2025).

Perlu ditelisik lebih dalam mengapa ironi ini bisa terjadi pada pengembangan sektor pariwisata Gunungkidul. Berdasarkan undang-undang RI No.10 tahun 2009 bahwa kepariwisataan bertujuan untuk menciptakan peningkatan ekonomi, dan juga menghapus rantai kemiskinan serta mengurangi kelas pengangguran, maka sekiranya perlu untuk ditelisik ulang bagaimana sektor pariwisata di GunungKidul berjalan secara mekanistik. Hal ini dikarenakan pembangunan pariwisata bukanlah bentuk aktivitas ekonomi yang hanya mengandalkan keterlibatan sepihak (Prayudi, 2021).

Pihak-pihak yang terlibat seperti pemerintah, investor, kebijakan pusat, serta warga lokal sangat menentukan output dari adanya sektor pariwisata. Apabila berbagai pihak yang terlibat berjalan tidak harmoni, maka sektor pariwisata kurang lebih akan menunjukan hasil yang kurang optimal. Demi meningkatkan ekonomi masyarakat lokal, tulisan ini akan mengulik beberapa mekanisme yang terjadi pada pembangunan ekonomi masyarakat di sektor pariwisata GunungKidul.

B. Gagasan

GunungKidul memiliki jumlah penduduk lebih dari 776 ribu jiwa. Kabupaten ini merupakan kabupaten dengan wilayah geografis terluas secara administratif di antara daerah-daerah lain di Yogyakarta. Selain itu, Gunungkidul juga memiliki banyak obyek wisata seperti goa, bukit, gunung, budaya daerah, dan pantai. Pengembangan dalam sektor-sektor ini digadang mampu menumbuhkan ekonomi masyarakat lokal yang ada di sana.

Sebelum menjadi daerah yang ramai dikunjungi oleh pariwisatawan, masyarakat Gunungkidul merupakan masyarakat yang cukup agraris. Kebanyakan masyarakat memiliki mata pencaharian sebagai petani buah, sayur, padi, ternak, dan menjadi nelayan bagi warga yang tinggal di area pesisir. Sektor-sektor ini sangat bergantung dengan kondisi alam dan kebudayaan tradisional yang telah terbangun bahkan sebelum Indonesia merdeka. Masyarakat agraris mengandalkan solidaritas antar sesama dengan cara menghidupkan komunitas lokal seperti panguyuban desa (Badrudin et al., 2024).

Sedangkan hadirnya sektor pariwisata dimulai semenjak berlakunya Undang-undang otonomi daerah. Berdasarkan otonomi daerah pasca reformasi, dan diperkuat dengan adanya UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah, pemerintah Yogyakarta termasuk Gunungkidul lebih terdorong untuk menggerakkan sektor pariwisata dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Pemerintah daerah mencoba inovasi sebagai langkah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mengentaskan kemiskinan di wilayahnya.

Demi memajukan infrastruktur daerah pemerintah perlu memutar otak dalam tiga hal, yakni pendapatan asli daerah, pinjaman daerah, dan alokasi anggaran dari pemerintahan pusat (Sasili, 2023). Tiga jenis pemasukan ini perlu disinkoronisasi dengan kebutuhan dan produktifitas ril di setiap daerah. Pada akhirnya, Langkah yang diambi untuk mengentaskan kemiskinan di Gunungkidul diarahkan kearah pariwisata dengan mendorong kewirausahaan lokal, dan menarik dana program nasional serta keteratarikan dari para investor. Kemudian terlahir banyak diversifikasi mata pencaharian hidup di Gunungkidul, usai sektor pariwisata mulai dikembangkan dan didorong oleh pemerintah daerah.

1. Diverfisikasi Kerja

Dalam rentang 10 tahun terakhir, perjalanan pariwisata tidak ditopang dan berdiri dengan sendirinya, tapi industry pariwisata terdiri dari berbagai perusahaan yang menghasilkan barang dan jasa seperti tempat wisata, penginapan, restoran, artshop, biro dan agen perjalanan. Dalam rangka memenuhi permintaan wisatawan, maka diperlukan sarana dan prasarana di bidang transportasi dan komunikasi, perhotelan dan akomodasi, industri kerajinan dan industri produk konsumen, industri jasa, rumah makan restoran dan lain-lain.

Namun, tidak semua masyarakat bertransformasi secara cepat terhadap kemunculan sektor pariwisata di daerah. Beberapa masih mengandalkan pekerjaan yang biasa dilakukan di desa masing-masing. Adaptasi berlangsung secara lambat, sampai ketika masyarakat merasa usahanya saat ini tidak dapat memenuhi kebutuhan, barulah kemudian perubahan mata pencaharian dilakukan secara tidak terstruktur (Maryatmo, 2022).

Di bidang kuliner, Gunungkidul terkenal dengan makanan tradisional seperti “thiwul” dan berbagai macam oleh-oleh yang menjadi daya tarik tersendiri. Beberapa desa mengarahkan gerak organisasi kampung seperti PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) dalam memproduksi oleh-oleh dan kuliner (Hudayana et al., 2020). Bidang kuliner menjadi salah satu sektor cabang yang berhasil dihidupkan oleh pariwisata. Bahkan sektor kuliner merupakan jenis usaha yang hidup di setiap jenis wisata yang berbeda. Apapun objek wisatanya, baik itu alam atau budaya, sektor kuliner mampu hidup dan ikut andil dalam mengembangkan objeknya (Saputri & Widyaningsih, 2021).

Berikutnya, pekerjaan baru yang diciptakan pariwisata adalah jasa penginapan dan transfortasi. Oleh karena perjalanan wisata membutuhkan fasilitas perjalanan yang memadai, hal ini mendorong jasa angkutan seperti bis dan rental kendaraan menyediakan layanan yang baik dan merekrut tenaga kerja lebih. Selain itu, jumlah penyedia penginapan juga terlampau tinggi. Di Tanjungsari, salah satukecamatan yang berada di Gunungkidul, memiliki jumlah penginapan sebanyak 180 unit dari yang sederhana hingga hotel berbintang 4 (Putra, 2023).

Atraksi alam juga tidak kalah memberikan kontribusi, khususnya pantai selatan. Kebutuhan dasar pariwisatawan yang menikmati suasana alam cenderung disediakan oleh warga setempat. Pengunjung tidak perlu bingung apabila tidak mempersiapkan kebutuhan sejak awal. Kebutuhan-kebutuhan tersebut cenderung sudah tersedia di tempat wisata dengan biaya yang variatif (Sudarsono & Susantun, 2019).

2. Pertumbuhan Ekonomi

Dengan jumlah pengunjung yang cenderung tinggi, yakni sebanyak 3,6 juta pengunjung di tahun 2019, Gunungkidul tercatat memperolaeh PAD lebih dari 1,7 triliun dari pariwisata pada tahun 2018, atau 12% dari total PAD dari berbagai sektor. Dalam rentang waktu 2012 hingga 2018, peningkatan PAD berkisar di angka 11,73% setiap tahunnya. Hal ini menunjukan bahwa pendapatan daerah sangat terbantu dengan adanya sektor pariwisata (Nilawati, 2019).

Namun, kontribusi terhadap PAD masih ditopang dari pajak retribusi dan perputaran ekonomi dari investor. Ekonomi yang secara ril berasal dari masyarakat masih terbilang berkontribusi minim. Desentralisasi fiskal memang menyimbolkan pertumbuhan ekonomi daerah, akan tetapi distribusi ekonomi ke masayrakat bawah masih menjadi pertanyaan besar. Dari data yang ditunjukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), tingkat kemiskinan di Gunungkidul menempati peringkat tertinggi di Yogyakarta. Angka kemiskinan di Yogyakarta justru meningkat 10% di tahun 2024 dan Gunungkidul memiliki jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan yang sangat tinggi, yakni sebanyak 122 ribu jiwa di tahun 2025 (BAPPEDA DIY, 2025).

Penguasaan investor menjadi tantangan besar bagi pertumbuhan ekonomi dari sudut pandang rakyat. Keterlibatan komunitas lokal masih perlu diperkuat agar tidak disingkirkan oleh perusahaan swasta. Pariwisata yang harusnya tertuju pada pengembangan ekonomi rakyat, justru malah memberikan akses yang luar biasa nyaman bagi pengusaha asing. Apabila kewirausahaan warga terus melemah, sektor pariwisata akan kehilangan nilai lokalitasnya. Untuk itu, infrastruktur social harus menjadi target pertumbuhan dan fokus pemerintah.

3. Konflik Agraria

Gelombang pembangunan pariwisata yang masif di Gunungkidul tidak hanya mendatangkan devisa, namun juga membuka konflik struktural antara masyarakat lokal dengan pemerintah serta pemodal. Salah satu dampak krusial dari pembangunan ini adalah meningkatnya konflik agraria, yakni perebutan dan penguasaan ruang hidup antara masyarakat setempat dengan entitas bisnis pariwisata. Fenomena ini sejalan dengan pola ekspansi kapital terhadap tanah yang umumnya terjadi di wilayah pinggiran (periphery) yang kaya akan sumber daya alam dan pesona lanskap wisata (Junarto, 2022).

Konflik agraria di Gunungkidul banyak terjadi karena tumpang tindihnya klaim kepemilikan lahan. Banyak warga tidak memiliki sertifikat tanah, meskipun telah menempati dan menggarap tanah tersebut selama puluhan tahun. Proses sertifikasi yang lambat dan ditambah dominasi investor dalam penguasaan lahan membuat posisi tawar masyarakat lokal menjadi lemah. Konflik agraria di kawasan pesisir selatan Gunungkidul seperti di Pantai Wediombo, Watu Kodo, Sanglen dan Drini dipicu oleh privatisasi lahan oleh korporasi wisata dengan dukungan legal formal dari pemerintah daerah. Selain itu, juga terdapat kasus seperti Sultan Grown yang menciptakan hambatan yang cukup rumit bagi penduduk lokal (Sulistiyowati et al., 2023).

Misalkan dalam kasus Karst, Kawasan karst di Gunungkidul tidak hanya memiliki nilai ekologis yang tinggi, tetapi juga menjadi ruang hidup bagi ribuan masyarakat lokal. Karst Gunungkidul, yang termasuk dalam Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunung Sewu, berfungsi sebagai penyimpan air bawah tanah, penyangga keanekaragaman hayati, serta situs warisan geologi dunia yang telah ditetapkan UNESCO sebagai Geopark Global. Namun, kawasan ini terus mengalamitekanan akibat proyek-proyek pembangunan. Hal ini terutama terjadi akibat ekspansi pariwisata dan tambang kapur yang berpotensi merusak struktur geologi dan sumber air. Masyarakat yang hidup di sekitar karst umumnya menggantungkan kehidupan pada pertanian tadah hujan dan sistem gua bawah tanah sebagai sumber air utama, sehingga kerusakan bentang karst akan berdampak langsung pada ketahanan ekologis dan sosial mereka (Marfai et al., 2013).

Pariwisata yang tidak berbasis partisipasi rakyat akan menghasilkan eksklusi dan marginalisasi. Maka penting untuk mendorong konsep pariwisata berkeadilan yang mengedepankan hak atas tanah, perlindungan terhadap petani lokal, dan kontrol sosial atas investasi. Di sinilah negara seharusnya berperan sebagai pelindung masyarakat, bukan sebagai fasilitator modal besar semata.

Upaya penyelesaian konflik agraria di Gunungkidul tidak bisa hanya bersifat administratif, namun harus struktural. Dibutuhkan audit agraria, pembentukan kelembagaan reforma agraria yang inklusif, serta keterlibatan aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Tanpa langkah ini, pembangunan pariwisata hanya akan menjadi lanjutan dari penindasan ekonomi terhadap masyarakat agraris lokal (Suliasari, 2017).

Berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sejak tahun 2013 hingga 2023 terdapat lebih dari 32 kasus konflik agraria di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan luasan konflik mencapai 1.560 hektare dan melibatkan tidak kurang dari 12.000 kepala keluarga. Konflik-konflik ini mayoritas terjadi di wilayah pesisir dan kawasan karst yang menjadi target pengembangan destinasi wisata dan proyek geopark. Wilayah seperti Desa Tepus, Semanu, Girikarto, dan Parangtritis menjadi lokasi yang rawan karena ketimpangan penguasaan lahan antara masyarakat lokal dan entitas pariwisata. Ironisnya, sebagian besar konflik terjadi di atas tanah Kasultanan atau Sultan Ground, yang keberadaannya secara historis belum tersertifikasi oleh masyarakat penggarap, sehingga rentan dialihfungsikan melalui skema legal-formal oleh pemodal (Nurdin, 2024).

C. Kesimpulan

Pariwisata di Gunungkidul telah menjadi lokomotif pembangunan yang diandalkan untuk menanggulangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja. Berbagai sektor ikut terdorong, dari kuliner, penginapan, hingga transportasi. Namun demikian, capaian ekonomi yang tampak belum menjawab ketimpangan struktural yang membelit masyarakat bawah. Angka kemiskinan yang tetap tinggi menunjukkan bahwa dampak riil dari pariwisata masih belum menjangkau akar permasalahan sosial.

Lebih dari sekadar ekonomi, pembangunan pariwisata juga menyisakan persoalan agraria yang kompleks. Tumpang tindih klaim tanah, alihfungsi kawasan karst, serta konflik di atas tanah Sultan Ground menunjukkan bahwa ruang hidup masyarakat terancam oleh ekspansi kapital yang difasilitasi negara. Maka, pembangunan semestinya tidak hanya bertumpu pada investasi, tetapi juga harus berpihak pada keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis bagi masyarakat lokal.

Alkautsar Holzian Akbar

Daftar Pustaka

Badrudin, R., Giri, E. F., Yandra, F. P., Subiyakto, H., & Algifari. (2024). PENGARUH PERKEMBANGAN SEKTOR PARIWISATA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 18(1), 39–51. https://doi.org/10.53916/jeb.v18i1.75 DIY, BAPPEDA. (2025a). Infografik Kemiskinan Jogja. https://bapperida.jogjaprov.go.id/dataku/infografik/kemiskinan/1000 DIY, BAPPEDA. (2025b). Jurnal Jalin Ristek Volume 2 Nomor 1 Mei 2025 – BAPPEDA GUNUNGKIDUL. http://bappeda.gunungkidulkab.go.id/2025/05/jurnal-jalin-ristek volume-2-nomor-1-mei-2025/ DIY, BAPPEDA. (2024). POTRET REALISASI INVESTASI DIY TW 1 – 2024 – Jogja Invest. https://jogjainvest.jogjaprov.go.id/web/11699/potret-realisasi-investasi-diy-tw 1-2024/ Harianjogja. (2022). Pembangunan Infrastruktur Selatan DIY Dikebut untuk Atasi Kemiskinan. https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2022/12/27/510/1121366/pembangunan infrastruktur-selatan-diy-dikebut-untuk-atasi-kemiskinan Harianjogja. (2024). Investasi di DIY Melejit, Lampaui Target Nasional. https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2024/12/19/510/1198454/investasi-di-diy melejit-lampaui-target-nasional Hudayana, B., Desa dan Ketahanan Pangan, P., & Pangan Berbasis Singkong di Kabupaten Gunungkidul, D. (2020). Rural Woman and Food Security: Diversification of Cassava-Based Foods in Gunungkidul District, Yogyakarta. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 8(2), 1–14. https://doi.org/10.22500/8202029845 Junarto, R. (2022). Reforma Agraria: Refleksi atas kinerja Gugus Tugas Refroma Agraria (GTRA) di Daerah Istimewa Yogyakarta. Inovasi, 19(2), 133–145.https://doi.org/10.33626/INOVASI.V19I2.492 Marfai, M. A., Cahyadi, A., Anggraini, D. F., Lingkungan, J. G., Geografi, F., Gadjah, U., Yogyakarta, M., Beasiswa, P., Bpkln, U., Ri, K., Perencanaan, M., Pesisir, P., Daerah, D., Sungai, A., & Yogyakarta, U. (2013). Typology, Dynamics, and Potential Disaster in The Coastal Area District Karst Gunungkidul. Forum Geografi, 27(2), 147–158. https://doi.org/10.23917/FORGEO.V27I2.2373 Maryatmo, R. (2022). Menelusuri Potret Kehidupan Warga Desa Hargosari Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Atma Inovasia, 2(3), 236–243. https://doi.org/10.24002/jai.v2i3.3913 Nadhifatur Rifdah, B., & Kusdiwanggo, S. (2024). Faktor-Faktor yang Memengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Kawasan Pariwisata di Indonesia: Tinjauan Literatur Sistematis. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, 13(2), 75–85. https://doi.org/10.32315/jlbi.v13i2.358 Nilawati, E. (2019). Analisis dan Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Gunungkidul. Jurnal Maksipreneur: Manajemen, Koperasi, Dan Entrepreneurship, 9(1), 41–60. https://doi.org/10.30588/JMP.V9I1.469 Nurdin, I. (2024). Konsorsium Pembaruan Agraria 2024. Catatan Akhir Tahun 2014 Konsorsium Pembaruan Agraria, 62. https://www.kpa.or.id/publikasi/adakah reforma-agraria-di-bawah-komando-prabowo/ Prayudi, M. A. (2021). Prospek Pengembangan Pariwisata Di Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Nusantara (Jurnal Ilmiah Pariwisata Dan Perhotelan), 4(1), 16–26. https://doi.org/10.63986/NSN.V4I1.45 Putra, A. F. (2023). Perancangan hotel resort dengan pendekatan ekologi di gunung kidul. Jurnal Poster Pirata Syandana, 4(2). https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jpps/article/view/18752 Saputri, A., & Widyaningsih, Y. (2021). Pengelolaan Produk Kuliner Sebagai Oleh-Oleh Khas Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Inovasi Teknologi Dan Edukasi Teknik, 1(4),295–301. https://doi.org/10.17977/UM068V1N4P295-301 Sasili, A. S. A. (2023). Peran Strategis Dinas Pariwisata Sebagai Salah Satu Aktor Pengembangan Pariwisata Pantai (Studi Kabupaten Gunungkidul Dari Perspektif Ilmu Pemerintahan). In Journal of Politic and Government Studies (Vol. 13, Issue 1). https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jpgs/article/view/42402 Sudarsono, H., & Susantun, I. (2019). Pengembangan Potensi Wisata di Kawasan Pantai Selatan Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Agriekonomika, 8(1), 81. https://doi.org/10.21107/agriekonomika.v8i1.5011 Suliasari, P. 13313148. (2017). Analisis Ekonomi Politik Pengelolaan Pariwisata di Pantai Krakal Kabupaten Gunungkidul Tahun 2013 – 2015. https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/7206 Sulistiyowati, E., Setiadi, S., & Haryono, E. (2023). The Dynamics of Sustainable Livelihoods and Agroforestry in Gunungkidul Karst Area, Yogyakarta, Indonesia. Forest and Society, 7(2), 222–246. https://doi.org/10.24259/FS.V7I2.21886