Budaya Korupsi di Indonesia: Benarkah Sudah Jadi Tradisi?

Budaya Korupsi di Indonesia: Benarkah Sudah Jadi Tradisi?

Praktik korupsi sudah menjadi penyakit yang melekat dan menggerogoti sistem hukum di Indonesia tanpa bisa dihilangkan. Hal ini ibarat dua sisi mata uang, di mana korupsi dan kekuasaan akan selalu berdampingan. Kekuasaan seringkali dijadikan sebagai alat untuk dapat meraup keuntungan pribadi. Selama seseorang memiliki kekuasaan, maka celah untuk melakukan korupsi akan selalu ada.

Di Indonesia, praktik korupsi bahkan telah menjadi tradisi yang dianggap wajar dan diwariskan secara turun-temurun sejak masa kerajaan, penjajahan, hingga masa kini. Sejarah panjang tersebut menanamkan pola pikir bahwa kekuasaan identik dengan keuntungan pribadi. Akibatnya, korupsi tidak hanya terjadi di kalangan elit, tetapi juga terjadi di kalangan masyarakat.

Dalam kehidupan sehari-hari, praktik korupsi terjadi dalam skala kecil seperti suap dan gratifikasi yang sudah menjadi kebiasaan umum yang dilakukan oleh masyarakat indonesia. Hal ini tampak jelas dalam praktik “uang pelicin” yang digunakan ketika membuat SIM dan menyogok polisi saat ditilang. Selain itu, sering terjadi tindakan korupsi dalam skala besar seperti pengoplosan bahan bakar Pertamax dan penyalahgunaan dana haji. Menyuap, menggelapkan dana, atau menerima gratifikasi kini tidak lagi dianggap pelanggaran serius, melainkan cara “normal” untuk bertahan dalam sistem birokrasi yang kompleks.

Kondisi ini menimbulkan kerugian ekonomi negara, melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan, serta merusak tatanan nilai sosial. Berdasarkan hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2024 yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), indeks integritas nasional Indonesia berada di angka 71,53%, menandakan masih tingginya potensi praktik suap dan gratifikasi. Sementara itu, Corruption Perception Index (CPI) 2024 yang dikeluarkan oleh Transparency International menempatkan Indonesia pada peringkat 99 dari 180 negara dengan skor 37 dari 100, menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia masih berada pada kategori mengkhawatirkan. Sejarah panjang korupsi dalam kehidupan berbangsa telah menjadikan praktik ini sebagai salah satu penyakit kronis yang sulit untuk disembuhkan. Sejumlah pengamat sosial dan politik bahkan berpendapat bahwa korupsi di Indonesia telah berkembang menjadi bagian dari budaya yang melekat dalam masyarakat.

Faktor Penyebab Korupsi

Masalah korupsi di Indonesia semakin kompleks karena berakar pada berbagai dimensi: ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, hukum di Indonesia masih sangat lemah, hukum yang berlaku selalu tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Meskipun sanksi tindak pidana korupsi telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yaitu pidana penjara seumur hidup atau minimal empat tahun dan maksimal dua puluh tahun, serta denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar, tindakan korupsi tetap marak terjadi. Hukuman yang dijatuhkan pun belum mampu memberikan efek jera bagi pelakunya.

Lemahnya hukum di Indonesia juga tercermin dari belum disahkannya Undang- Undang Perampasan Aset hingga detik ini. Selain faktor hukum, aspek politik turut memperburuk kondisi korupsi di Indonesia. Biaya kampanye politik yang sangat mahal, dengan pengeluaran jauh melebihi pendanaan politik yang wajar, mendorong para politisi melakukan berbagai cara termasuk korupsi, sebagai upaya untuk “balik modal” dari dana kampanye yang telah dikeluarkan.

Selain faktor hukum dan politik, pandangan masyarakat terhadap kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang turut memperkuat praktik korupsi. Di Indonesia, banyak orang yang ingin cepat kaya tanpa kerja keras, bahkan rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Budaya yang semakin money oriented menyebabkan sebagian orang terobsesi memiliki harta demi memperoleh penghormatan sosial. Sementara itu, nilai-nilai agama kian memudar, agama lebih sering dijadikan sebagai identitas formal ketimbang pedoman hidup dan sumber nilai moral.

Anomie dan Hilangnya Arah Moral Masyarakat

Jika ditelusuri lebih dalam, akar dari berbagai faktor penyebab korupsi tersebut sebenarnya bermuara pada satu hal: melemahnya nilai dan norma sosial. Ketika aturan tidak lagi dipatuhi, moral tidak lagi menjadi pedoman, dan kekuasaan disalahgunakan, maka masyarakat sedang berada dalam kondisi anomie seperti yang dijelaskan oleh Émile Durkheim.

Menurut Durkheim, setiap masyarakat punya sistem nilai dan norma yang berfungsi mengatur perilaku anggotanya agar tetap seimbang. Namun ketika terjadi perubahan sosial cepat (misalnya ekonomi, politik, modernisasi), sistem norma bisa melemah dan mengakibatkan orang menjadi bingung dalam membedakan mana yang benar dan salah. Kondisi inilah yang disebut anomie. Dalam perspektif teori anomie yang dikemukakan oleh Émile Durkheim, korupsi dapat dipahami sebagai akibat dari melemahnya norma sosial dan moral yang seharusnya menjadi pedoman perilaku masyarakat. Durkheim menjelaskan bahwa anomie terjadi ketika perubahan sosial, ekonomi, dan politik berlangsung begitu cepat sehingga nilai-nilai moral tidak lagi mampu mengatur perilaku individu. Dalam kondisi tersebut, masyarakat kehilangan arah dan batas antara benar dan salah menjadi kabur. Fenomena ini tampak jelas dalam praktik korupsi di Indonesia.

Lemahnya penegakan hukum, budaya permisif terhadap penyimpangan, serta keteladanan moral yang buruk dari elite politik memperkuat kondisi anomie tersebut. Akibatnya, korupsi bukan hanya menjadi masalah individu yang serakah, tetapi juga cerminan dari disorganisasi moral masyarakat secara kolektif.

Upaya Pencegahan Korupsi

Upaya pencegahan korupsi tidak hanya soal memperketat aturan, tetapi juga memperbaiki cara pandang kita terhadap kekuasaan dan kejujuran. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun sistem pemerintahan yang transparan. Transparansi bukan hanya soal administrasi, tetapi juga tentang bagaimana kepercayaan dibangun antara rakyat dan pemerintah.

Selain itu, pendidikan antikorupsi menjadi hal yang tidak kalah penting. Mencegah korupsi berarti membenahi moral sejak dini, menanamkan kejujuran bukan sekadar sebagai nilai pelajaran, tapi sebagai bagian dari cara hidup. Di sinilah peran mahasiswa menjadi penting, sebagai agent of change yang mampu menyalakan semangat perubahan di tengah masyarakat. Pendidikan antikorupsi bisa hadir dalam ruang kuliah, diskusi, atau bahkan dalam hal-hal kecil yang menumbuhkan kesadaran untuk tidak menipu atau mengambil hak orang lain.

Langkah berikutnya adalah mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, sebagai bentuk nyata dari penegakan hukum yang berkeadilan. Undang-

undang ini diharapkan dapat memberi efek jera bagi pelaku korupsi, sekaligus menegaskan bahwa hasil kejahatan tidak bisa dinikmati selamanya. Namun, hukum yang tegas tidak akan berarti tanpa perubahan budaya.

Karena itu, pencegahan korupsi seharusnya dimulai dari kesadaran kolektif dengan menghapus budaya permisif terhadap penyimpangan, berani menolak praktik suap sekecil apa pun, dan memperkuat sistem pelaporan masyarakat (whistleblowing system) sebagai bentuk keberanian moral. Korupsi tidak akan berhenti hanya dengan hukuman, tetapi dengan budaya baru yang menolak kebohongan dan menghidupkan kejujuran.

Nazla Khoirun Nisa & Najwa Mayasaro Sayyidati (Human Resource Departement - Labsos)

Referensi

Argiya, V. S. P. M. (2013). Mengupas Tuntas Budaya Korupsi yang Mengakar serta Pembasmian Mafia Koruptor Menuju Indonesia Bersih. Recidive: Jurnal Hukum, 2(2), 162–170. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Farida Sekti Pahlevi. (2022). Strategi Ideal Pemberantasan Korupsi di Indonesia. e-Journal Al-Syakhsiyyah Journal of Law and Family Studies, 4(1), 28–34. Fakultas Syariah IAIN Ponorogo.

KPK. (2024). Temuan SPI 2024: Suap dan gratifikasi masih terjadi di lebih dari 90 kementerian/lembaga/pemerintah daerah. Komisi Pemberantasan Korupsi.

Muhtarom, H., Rahayu, F. N., & Nugraha, D. M. (2022). Akar Budaya Korupsi Indonesia: Historiografi, Penyebab, dan Pencegahannya. Jurnal Historiografi, 2(3), 153–166.

Ritzer, G. (2010). Teori Sosiologi Klasik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Trading Economics. (2024). Corruption Perception Index Ranking. TradingEconomics.

Retrieved from https://tradingeconomics.com

Wijayanto, & Zachrie, R. (2011). Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.