Perempuan dan Pembuktian : Melawan Mitos Keterbatasan (Rembug Anak Sosiologi REAKSI#3)
Penulis : Tri Isnaeni Ades Ria dan Wahyu Sunaryo
Perempuan dalam KBBI disebut dengan kata wanita yang merupakan lawan dari laki-laki. Wanita identik dengan hal-hal menyangkut sex atau jenis kelamin. Dalam hal ini kata perempuan atau wanita sangat berkaitan dengan ciri fisik atau sesuatu yang menyangkut biologis. Namun tulisan ini tidak akan membahas perempuan dari segi sex (jenis kelamin) atau biologis, tulisan ini akan membahas perempuan dari sudut pandang gender.
Sex dan gender adalah dua hal yang memiliki arti berbeda. Meski keduanya sama-sama memiliki keterkaitan dengan jenis kelamin akan tetapi sex lebih mengacu pada aspek biologis, yang merupakan bawaan sejak lahir dan bersifat mutlak. Sedangkan gender mengarah pada aspek karakteristik, sikap, perilaku dan peran serta konstruksi yang dibuat oleh masyarakat. Gender tidak bersifat mutlak dan biasanya penerapan gender ini dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Gender bisa mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan bisa berbeda di setiap lingkungan masyarakat yang berbeda. Hal tersebut karena gender juga dipengaruhi oleh budaya dan adat istiadat yang ada di setiap wilayahnya.
Perempuan dalam sudut pandang gender kerap kali mendapat diskriminasi sosial dan diposisikan sebagai subordinasi jika dibanding dengan laki-laki. Ketidak adilan ini terjadi sebagai akibat dari konstruksi masyarakat yang sudah tertanam sejak lama. Ketidak adilan tersebut juga didukung oleh ajaran-ajaran agama dan aturan-aturan budaya yang ada. Perempuan kerap kali mendapat tekanan dari masyarakat yang membuatnya tidak merdeka sebagai seorang manusia. Ketidakmerdekaan perempuan ini sudah menjadi perhatian negara-negara di dunia. Hal tersebut dapat dilihat dari dicetuskanya beberapa aturan tentang hak perempuan. Pada tahun 1995 hak asasi perempuan dideklarasikan dalam konferensi dunia ke-IV (Platform Aksi Beijing). Dalam konferensi ini diangkat mengenai 12 bidang yang menjadi perhatian negara-negara di dunia yang mencakup: 1) perempuan dan kemiskinan, 2) pendidikan dan pelatihan bagi perempuan, 3) perempuan dan kesehatan, 4)kekerasan terhadap perempuan, 5) perempuan dan konflik bersenjata, 6)perempuan dan ekonomi, 7) perempuan dan kekuasaan serta pengambilan keputusan, 8)mekanisme kelembagaan untuk kemajuan perempuan, 9)hak asasi perempuan, 10)perempuan dan media, 11)perempuan dan lingkungan hidup, 12)anak perempuan. Dari sini terlihat jelas bahwa pada tahun itu perempuan masih banyak mengalami ketertindasan serta ketidakmerdekaan dan konvensi tersebut berupaya untuk memperbaiki.
Meskipun aturan-aturan mengenai hak asasi perempuan ini sudah ada namun pada kenyataanya diskriminasi masih marak dirasakan oleh perempuan. Adapun diantaranya diterangkan di bawah ini:
1. Marginalisasi
Marginalisasi adalah peminggiran yang dialami oleh suatu kelompok dan dilakukan oleh kelompok superior. Pada kasus perempuan, marginalisasi terjadi karena adanya perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan ketimpangan antara kelompok lemah dan kuat akibat dari stereotip di masyarakat. Stereotip gender adalah keyakinan tentang karakteristik, atribut, dan perilaku anggota kelompok tertentu (Hosang & Bhui, 2018).
Kasus marginalisasi perempuan kerap terjadi di masyarakat. Sebagai contoh perempuan yang menerima gaji lebih kecil dibanding laki-laki meskipun bekerja di tempat dan bagian yang sama dikarenakan anggapan bahwa perempuan adalah pencari nafkah tambahan (Afandi, 2019; Susiana, 2017). Padahal dalam kenyataannya banyak juga perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga karena suami meninggal, sakit atau bercerai. Contoh lain adalah adanya perempuan yang menerima PHK karena hamil dan melahirkan dan ada cuka lowongan pekerjaan yang hanya menerima perempuan yang belum menikah sehingga mempersempit kesempatan kerja untuk perempuan (Susiana, 2017).
2. Stereotipe
Stereotype menurut KBBI memiliki arti anggapan terhadap suatu golongan yang didasarkan pada prasangka subjektif dan tidak tepat. Stereotype banyak terjadi pada perempuan, dimana perempuan kerap kali mendapat pandangan yang subjektif atas dirinya serta tidak didasarkan pada fakta yang ada. Di dunia sekarang ini stereotype mengenai perempuan kebanyakan merugikan kaum perempuan dan mendiskriminasi mereka. Stereotype seperti wanita itu lemah, emosional, cengang, manja, tidak tegas dan lain sebagainya akan mengganggu perempuan untuk mencapai apa yang dia cita-citakan. Contohnya ada stereotype di masyarakat yang mengatakan bahwa perempuan itu harus menjadi ibu rumah tangga, kenapa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya ke dapur. Stereotype tersebut tentunya akan mengekang perempuan untuk bercita-cita setinggi-tingginya. Contoh lainya adalah perempuan tidak bisa menjadi pemimpin yang baik karena pemimpin seharusnya mampu bersikap tegas sedang perempuan cenderung emosional dan tidak tegaan. Sedangkan dalam kenyataan, tidak sedikit perempuan yang sukses dalam memimpin bisnisnya
3. Subordinasi
Subordinasi diartikan sebagai penomorduaan. Perempuan dalam hal ini dianggap sebagai manusia yang lebih rendah dibanding laki-laki baik dari segi kedudukan, fungsi, dan peran. Perempuan diwajibkan untuk cantic, lembut, sabar, penyayang, mampu mendidik dengan baik, rajin, dan mampu melakukan kegiatan domestic sedangkan laki-laki harus berwibawa, kuat, rasional, perkasa, memberi nafkah, imam yang baik dll. Hal inilah yang menyebabkan diskriminasi tercipta. Dari sini jelas bahwa laki laki dipandang sebagai orang yang kuat sedangkan wanita lemah. Ditambah dengan beban yang dialami perempuan dengan pekerjaan domestik dan sosial tanpa pertimbangan pembagian kerja yang adil, ini tentunya akan memberatkan perempuan.
Sebuah penelitian nasional juga menunjukan bahwa 65% anak yang putus sekolah adalah perempuan ditambah penelitian lain yang juga menyebutkan bahwa dari 900 juta penduduk yang buta huruf 65% adalah dari kaum perempuan. Dari data berikut jelas bahwa subordinasi sangat merugikan perempuan baik dari segi sosial, ekonomi maupun politik.
Dari diskriminasi yang dialami diatas dapat disimpulkan bagaimana perempuan mengalami ketertindasan dan ketidakadilan yang tentunya sangat merugikan bagi kaum perempuan itu sendiri. Selain itu diskriminasi tersebut juga menjadi salah satu faktor maraknya kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan. Pada tahun 2021 Simfoni PPA mencatat sebanyak 5.376 laki-laki menjadi korban dari kasus pelecehan seksual sedangkan 21.753 kasus terjadi pada perempuan. Disini jela bahwa perempuan jauh lebih rentan mengalami kekerasan seksual. Namun lagi-lagi perempuan kerap kali disalahkan atas pelecehan dan kekerasan seksual tersebut. Biasanya masyarakat banyak menyalahkan mulai dari caranya berpakaian maupun bersikap (victim blaming). Padahal dalam faktanya dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Rika Rosvianti menyimpulkan bahwa sebagian korban pelecehan seksual tidak memakai pakaian terbuka melainkan memakai baju lengan panjang (16%), hijab (17), dan celana atau rok panjang (18%). Ini menunjukan bahwa tidak ada keterkaitan antara kekerasan seksual dengan pakaian yang dikenakan korban. Dari sini sangat jelas bahwa dalam tindak kekerasan maupun pelecehans eksual yang patut untuk disalahkan adalah pelaku bukan korban.
REFERENSI
Bonita Maulida & Ellyana Dwi Farisandy, ‘Marginalisasi, Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan’, Buletin KPIN, 2022
Dyah Anggi Syahputri & Ellyana Dwi Farisandy, ‘Kekerasan Seksual Pada Perempuan: Salah Siapa?’, Buletin KPIN, 2022
Ellora, Devina, ‘5 Stereotip Tentang Perempuan Yang Masih Melekat Di Masyarakat’, Beauty Journal.Id, 2018
Mahfuz, Gusti, ‘Dua Belas Isu Kritis Perempuan’, Multimedia Center Kalimantan Tengah, 2018
Syafe’i, Imam, ‘Subordinasi Perempuan Dan Implikasinya Terhadap Rumah Tangga’, Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung, 15 (2015), 143–66