Dominasi Barat Atas Sejarah Pengetahuan dan Epistemologi Ilmu Sosial di Indonesia

Dominasi Barat Atas Sejarah Pengetahuan dan Epistemologi Ilmu Sosial di Indonesia

Sebagai mahasiswa dan intelektual yang mendalami Ilmu Sosial, sadarkah kita selama ini bahwasanya pengetahuan yang selama ini kita reproduksi dan amini sepenuhnya dan seutuhnya bersandar pada produksi sejarah dan pengetahuan Barat? Tak terkecuali Sosiologi, dalam tiga perspektif meta teori; Fungsional Struktural; Interaksionis Simbolik; dan Konflik adalah anak kandung dari sejarah dan kebudayaan Eropa dan Amerika. Sebuah wacana yang mempersempit posisi negara-negara bagian ketiga pada taraf produksi ilmu pengetahuan.

Sejarah lahirnya Ilmu Sosial khususnya Sosiologi dapat dilacak melalui perkembangan pengetahuan yang terjadi di Eropa. Ringkasnya, Kelahiran Ilmu Sosial bermula ketika terjadi berbagai macam revolusi di Eropa yang mengakibatkan chaosnya situasi sosial-politik Masyarakat Eropa kala itu. Kekacauan yang terjadi mengakibatkan krisis sehingga membutuhkan sebuah alternatif diskursus dalam membaca fenomena masyarakat yang humanistik sifatnya. Filsafat akhirnya bekerja hingga memunculkan berbagai macam aliran pemikiran untuk mengukuhkan sebuah epistemologi. Agar topik ini tidak melebar semakin jauh dan terkesan ‘eurosentrisme’, secara lebih ringkas epistemologi Sosiologi sebagai ilmu sosial dikukuhkan dengan lahirnya Positivisme yang digagas oleh Auguste Comte. Ia menyebut Sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu sosial yang harus dipisahkan dari ekonomi dan politik untuk membaca fenomena masyarakat dan perubahannya. Comte menyebut, perubahan yang terjadi pada masyarakat terbagi menjadi tiga tahap yaitu; tahap teologis, tahap metafisik dan yang terakhir adalah tahap positivis sebagai puncak akhir dari perkembangan masyarakat (Ritzer, 2014). Apa yang disampaikan Comte dalam gagasannya tersebut merupakan refleksinya atas krisis dan revolusi yang terjadi pada Masyarakat Prancis dan beberapa negara Eropa pada saat itu. Meskipun pemikiran Comte tak dapat dilepaskan dari kritik dan ketidaksetujuan beberapa pemikir sebagai pencetus Sosiologi, masyarakat hari ini mengamininya sebagai peletak dasar Sosiologi modern.

Kemudian pada akhir dekade abad 21, George Ritzer seorang teoritikus sosiologi asal Amerika Serikat merumuskan sosiologi dalam tiga paradigma dan tiga perspektif utama melalui bukunya Sociology: A Multiple Paradigm Science (1922). Rumusan Ritzer bertolak dari pemikiran Thomas Kuhn mengenai paradigma ilmu pengetahuan yang menurutnya adalah dasar dari tradisi penelitian yang mendefinisikan masalah mana yang menarik dan mana yang tidak relevan untuk mencapai sebuah kebenaran ilmiah. Paradigma dapat diartikan pandangan yang mendasar dari dari ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh satu cabang ilmu pengetahuan (Ritzer, 1992). Pokok-pokok ilmu pengetahuan yang dimaksudkan di dalam paradigma merupakan sesuatu yang terikat atas konsensus sebuah standar yang dapat dinyatakan sebagai kebenaran.

Agar pembahasan tulisan ini tidak meluas dan terkesan eurosentrisme, secara singkat dapat dipahami bahwa sejarah ilmu sosial yang secara khusus adalah sosiologi, selalu berkelakar dan berpusat pada sejarah ilmu pengetahuan di Barat. di era modern dan kontemporer sebuah kajian sosiologis pada sebuah masyarakat selalu berbasis pada kerangka Weberian, kajian antropologi selalu bersandar pada Geertz dan Levi-Strauss, kajian sejarah selalu bersandar pada arsip-sentrisme dari Leopold von Ranke (Amos, 2023).

Dari Kolonialisme, Imperialisme, Negara Dunia Ketiga hingga Kritik Southern Theory

Berangkat dari sejarah, paradigma dan epistemologi ilmu sosial yang sangat eurosentrisme, sejarah ilmu pengetahuan adalah sejarah dominasi kekuatan dari Barat. Ada sejarah panjang kolonialisme dibalik kuatnya dominasi barat yang begitu holistik dan kita imani hingga sekarang ini. Apa yang masyarakat lihat, rasakan dan pahami saat ini; pembangunan, sistem negara-bangsa, pendidikan hingga reproduksi ilmu pengetahuan sebagai hal yang terberi (Arungkala, 2023).

Bagi negara bekas jajahan seperti Indonesia dan negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Selatan, adalah hal biasa dalam melihat realitas diri sebagai ‘Dunia Ketiga’ dalam klasifikasi negara-negara di dunia saat ini. Terminologi dunia ketiga yang diartikan oleh Alfred Sauvy (1972) sebagai ‘negara terbelakang’ bekas jajahan adalah indikasi betapa besar, kuat dan berkuasanya dominasi Barat atas tubuh, pikiran dan pengetahuan masyarakat ulayat di negeri-negeri post-colonial.

Disadari maupun tidak, masyarakat dunia ketiga hari ini adalah sebuah objek tatap bagi kolonialisme pengetahuan yang menjarah pengetahuan lokal, menjebaknya dalam ketidaktepatan teori barat dalam rangka melanggengkan relasi kuasa imperialisme. Selaras dengan itu, konsepsi masyarakat dunia ketiga sebagai objek telah lama menjadi permasalahan dalam pembacaan ilmu pengetahuan. Bagi Hussein Alatas; objektifikasi tersebut merupakan pembacaan yang tidak tepat atas rekonstruksi sejarah dan kebudayaan masyarakat ulayat dalam kacamata barat yang sempit. Alatas mengungkapkannya dalam sebuah analisa yang panjang dalam karyanya yang fenomenal; The Myth of the Lazy Native (1977) yang membantah pandangan barat dalam melihat pola kerja masyarakat ulayat sebagai pemalas dan terbelakang. Bagi Hussein Alatas, pandangan yang tidak tepat seperti itu merujuk pada dua perkara. Yang pertama adalah pandangan yang tidak tepat dalam menganalisis fenomena masyarakat ulayat sebagai objek tatap kolonial dalam perspektif barat. Kedua, gagasan tersebut datang dari narasi dominan dan rezim kebenaran yang dibangun kolonialisme. Adanya perkara tersebut kemudian bertujuan untuk melanggengkan kuasa imperialisme kolonial dalam memonopoli pengetahuan dan sumberdaya.

Kolonialisme yang telah lama mencengkram negara-negara dunia ketiga adalah hal yang tidak dapat dilepaskan dengan mudah bahkan melalui proklamasi kemerdekaan secara de jure. Dalam pandangan Anibal Quijano (1992), seorang sosiolog dan teoritisi sosial dari dunia selatan memiliki pengertian; bahwa kolonialisme yang diamini sebagai sistem kekuasaan negara jajahan telah mengakar dalam cara berpikir masyarakat terjajah. Ia menyebutnya sebagai Colonial Matrix of Power atau Matriks Kuasa Kolonial. Setidaknya, sebuah kuasa kolonial secara holistik telah membentuk matriks dalam tiga sistem sosial yaitu; sistem politik; sistem ekonomi; dan sistem kebudayaan.

Inti dari matriks kolonial adalah dominasi barat yang masih kuat mengakar bahkan ketika negara-negara bekas jajahan tersebut telah bebas dan merdeka dari kontrol mereka. Pada akhirnya, barat sebagai ibu kandung kolonialisme adalah kiblat bagi terbentuknya sistem negara modern, pusat ekonomi dan kebudayaan maju yang diamini sebagai patokan dunia. Pertanyaan yang kemudian dapat muncul adalah, bagaimanakah cara mereka tetap dapat mendominasi jika bukan akibat dari pengilhaman atas reproduksi ilmu pengetahuan yang mereka ciptakan?

Pertanyaan tersebut telah dijawab oleh Quijano dalam perspektif colonial matrix of power. Kolonial bukan hanya sebuah sistem monopoli dan dosa masa lalu, namun kolonialisme adalah warisan yang masih berakar dalam corak pikir dan asimilasi kebudayaan barat lewat globalisasi dan kontrol atas ekonomi-politik.

Indigenisasi Ilmu Sosial Syed Farid Alatas: Sebuah Tawaran bagi Ilmu Sosial Indonesia

Jawaban dari persoalan dominasi ilmu pengetahuan adalah upaya indigenisasi ilmu pengetahuan. Indigenisasi yang dimaksud adalah upaya pengembangan ilmu pengetahuan yang berasal dari konteks sosial budaya yang spesifik dari sebuah masyarakat (Arungkala, 2022). Upaya ini adalah tawaran sekaligus jalan keluar yang bukan lagi ‘alternatif’ namun ‘otonomis’ dalam mempertegas identitas dan independensi pengetahuan dari dominasi Barat.

Konsep indigenisasi bukan berarti menolak konsep ilmu pengetahuan dari barat. Namun upaya tersebut lebih kepada penggalian pengetahuan lokal dengan memodifikasi dan mencari metode yang tepat bagi masyarakat lokal. Kemudian yang menjadi penting adalah, proses penulisan kembali sejarah dan produksi pengetahuan yang berasal dari perspektif langsung masyarakat itu sendiri. Masyarakat bukan lagi menjadi objek faktual, namun kita harus menjadikan masyarakat sebagai subjek tempat pengetahuan berasal.

Menurut Farid Alatas (2010), upaya indigenisasi ilmu dapat dilakukan dengan empat cara. Pertama, memahami sekat terminologi antara mana yang ‘Barat’ dan mana yang ‘Timur’ atau ‘Ulayat’ (Indigenous). Pemilahan dan pemahamaan ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana dominasi pengetahuan bekerja dalam membangun reproduksi pengetahuan. Selain juga, pemahaman ini bertujuan untuk mempertegas penghayatan pengetahuan berdasarkan perspektif kita untuk melepaskan pengaruh kuasa dominan atau meminjam istilah Hussein Alatas sebagai rezim kebenaran.

Kedua, mencari benang merah ilmu sosial yang sesuai konteksnya tanpa menolak ilmu pengetahuan barat sepenuhnya. Pembacaan ulang masyarakat ulayat (indigenous) atas pengetahuan mereka adalah proses diskursus yang panjang. Proses tersebut bukan berarti kita menolak epistemologi barat secara radikal, namun merupakan proses pembacaan kembali; re-thinking dan re-building lewat perspektif masyarakat sebagai pemilik absah pengetahuan mereka.

Ketiga, melakukan pemetaan bias dominasi barat (eurosentrisme dan orientalisme) dalam membaca ulang sejarah dan pengetahuan lokal. Upaya ini menjadi penting agar tidak terjadinya ketidaktepatan sasaran dan kebingungan diskursif dalam menyusun kembali sejarah dan pengetahuan masyarakat ulayat dari masyarakat itu sendiri.

Keempat, menggunakan pengetahuan lokal sebagai sumber kajian indigenisasi ilmu pengetahuan. Cara ini adalah upaya ‘reproduksi’, menjadikan sejarah yang ditulis dan pengetahuan lokal sebagai sumber dalam membangun ilmu sosial yang setara, merdeka dan berdiri diatas kaki sendiri.

Upaya indigenisasi atau ulayatisasi merupakan sebuah tawaran untuk membangun ulang ilmu sosial yang terlanjur terdominasi. Mendialogkan kembali dan menyesuaikan konteks dengan masyarakat lokal ditujukan agar ketidaktepatan pembacaan dapat dihindari agar tidak overdosis dan timpang akibat menelan pengetahuan barat secara mentah-mentah.

Dalam konteks Indonesia, permasalahan pengetahuan dan kebudayaan telah menjadi urusan yang panjang sepanjang sejarah bangsa. Diskursus atas pembacaan sejarah dan budaya sebagian besar masih terpaku pada cara pandang barat secara mentah dalam mereproduksi pengetahuan masyarakat. Masyarakat intelektual hari ini seakan-akan hanya menjadi data analysis dalam membaca fenomena kebudayaan. Apa yang dituliskan hanya berupa penjabaran masalah dan analisis atas teori yang sudah ada. Penggunaan teori secara mentah tanpa melakukan kontekstualisasi dan kritik atas pemikiran mereka, seakan-akan adalah bentuk indoktrinasi atas pengetahuan kita. Inilah yang kemudian disebut Hussein Alatas sebagai Captive Mind atau pemikiran jumud yang terpacu pada barat-beranggapan sebagai kiblat kemajuan dunia. Pada akhirnya, pemikiran jumud seperti ini hanya akan mengantarkan kita pada krisis hingga matinya identitas. Sejarah dan pengetahuan kita dieksploitasi untuk diteliti, kemudian dikubur dalam-dalam. Dan lewat cara pandang budaya-maju, mereka sebarluaskan sebagai sebuah standar yang harus dimiliki oleh semua bangsa. Ini adalah sebuah analogi dari banyak fenomena-fenomena yang tanpa disadari menguasai dan merenggut identitas kita yang asali. Pada titik ini, dimanakah kita dapat menemukan pengetahuan dan identitas kita kembali?

Meskipun pada akhirnya indigenisasi pengetahuan merupakan upaya untuk berdikari dari dominasi barat, tujuan proyek ini adalah terciptanya librasi pengetahuan yang setara dan otonom. Tanpa menolak dan menjadi dominasi baru bagi epistemologi pengetahuan. Semua pengetahuan lahir dari budaya dan konteks masing-masing. Dan semua pengetahuan memiliki nilai yang setara dalam panggung intelektualitas. Indigenisasi adalah jalan untuk terbebas dari ketertindasan dan menciptakan ruang diskursus yang sesuai dengan konteks tanpa menciptakan ruang baru bagi objektifikasi masyarakat dan kebudayaan sebagai benda yang kalah.


Referensi

Alatas, S. F. (2006). Diskursus alternatif dalam ilmu sosial Asia: tanggapan terhadapan Eurosentrime. Mizan Publika.

Alatas, S. H. (2013). The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism. Routledge.

Arungkala. (2022). Pengantar Dekolonisasi Pengetahuan. Kolektif Arungkala, Yogyakarta.

Quijano, A., & Wallerstein, I. (1992). Americanity as a Concept, or the Americas in the Modern World-System. International Social Science Journal, 44(134).

Ritzer, G. (1975). Sociology: A Multiple Paradigm Science. The American Sociologist.

Ritzer, G. (2004). Teori Sosiologi Modern.

(Muhammad Ardian Syah)