Mengaktivasi Nalar Kritis dalam Akademik: Belajar dari Sarjana Indonesia di Amerika

Belajar dari Sarjana Indonesia di Amerika
Nalar kritis adalah justifikasi dari masyarakat terdidik dan civilized. Spektrum nalar kritis bisa menjangkau kehidupan masyarakat yang menjaga nilai-nilai dan praktik demokrasi. Naifnya, nalar kritis yang ada pada masyarakat Indonesia seringkali hilang semakin bertambahnya usia. Namun, itu jarang terjadi di negara Amerika karena mereka memiliki kebebasan berpendapat dalam kehidupannya.
Personalan esensial tersebut menjadi bahan diskusi yang muncul dalam Sharing Session bertopik "Tradisi Riset di Amerika: Refleksi dari Sarjana Indonesia" yang dihelat oleh Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM), UIN Sunan Kalijga pada Kamis, 21 Desember 2023, dengan menghadirkan sarjana muda dari Indonesia yang sedang berkarir di Amerika, yaitu Lailatul Fithriyah, Ph.D. (Assistant Professor Claremont School of Theology, Los Angeles County, California, USA).
Dalam sambutannya, Dekan FISHUM Dr. Mochamad Sodik mengapresiasi adanya ini sebagai upaya membuka ruang dan rihlah pengetahuan dengan jaringan internasional. “Saya berterima kasih kepada Prodi Sosiologi, Dr. Muryanti, dan Mas Bje yang sudah menginisiasi dan mempersiapkan acara ini. Karena dengan adanya kegiatan begini, pemahaman dan praktik dalam aspek pengembangan ilmu pengetahuan bisa terjadi secara lebih masif dan kuat,” tukas Pak Sodik.
Bapak Dekan juga menggarisbawahi tentang sarjana kita, seperti Lailatul Fithriyah, Ph.D., yang mampu menaklukkan dunia akademik Amerika dengan menunjukkan kualitas internasiona dan menjadi bagian yang dibutuhkan dalam ranah ilmu pengetahuan di sana sesuai dengan bidang dan keahlian. Acara yang dipandu oleh Tri Isnaeni Ades Ria ini mampu menyedot peserta dari berbagai kampus di Jogja, mulai dari UIN sendiri, UGM, Sanata Dharma hingga UIII, Depok, Jawa Barat.
Ketika masuk ke ranah pendidikan, Mbak Laily, sapaan akrabnya, coba mengungkap beberapa perbedaan yang bisa dirangkum menjadi evaluasi dan refleksi bagi pendidikan di Indonesia. Pertama, aspek fleksibilitas yang ada di Amerika tidak ada di Indonesia. Ini bisa dilihat dari cara bagaimana dunia akademik bekerja. Sementara di Indonesia berpikir kritis di kampus Indonesia masih terbatas (seperti banyak regulasi yang membatasi kebebasan dunia akademik, baik dosen maupun mahasiswa). Berbeda sekali dalam pendidikan amerika, kebebasan sudah menjadi prinsip.
Lebih lajut, Mbak Laily juga meneroka tentang teks yang dibaca untuk dikritisi secara bebas di dunia pendidikan Amerika. Kultur demikian melahirkan kebebasan pada mahasiswa untuk bisa memiliki sikap kritis terhadap teks. Cara begitu juga membuat teks bisa di dialogkan dan historiografi pemikiran terbentuk.
Di Amerika Serikat, kata Laily, kita tidak perlu linear untuk mengajar di sebuah institusi akademik. Yang diperlukan adalah kualifikasi program riset pendidikan doktoralnya. Jika itu memenuhi syarat yang dibutuhkan oleh institusi kampus makan kita bisa saja diterima sebagai dosen pengajar.
Secara khusus, Laily juga menceritakan bagaimana kehidupan akademis di Amerika Serikat. Ia banyak menggarisbawahi bahwa secara praktis akademisi di Amerika Serikat saat ini banyak memperdebatkan persoalan prinsip bahwa akademisi adalah subjek yang bebas nilai, mereka tidak memiliki pada keberpihakan tertentu jika ada sebuah konflik yang terjadi. Konflik hanya menjadi sebuah objek penelitian yang menarik bagi para akademisi kebanyakan di sana. Banyak yang mulai menggugat nilai tersebut karena banyaknya protes terhadap sikap akademisi di Amerika Serikat yang diam saja terhadap Genosida dan Pembantaian di Palestina tanpa bersuara lantang memprotes dan mengecam pihak Israel yang melakukan serangan bertubi-tubi terhadap Palestina yang dijajah.
Dalam aspek teknis, narasumber sebagai dosen, juga membeberkan bahwa dosen memiliki model pendidikan seperti menekankan mahasiswa untuk membaca satu buku di setiap minggunya, kemudian mereka yang memberikan kuliah tentang buku, apa isi buku, mengkritisi, menyambungkan teori dalam konteks kontemporer saat ini. Diakhir kelas, mahasiswa bersama dosen menerbitkan buku.
Diskusi semakin hangat ketika terjadi dialog dengan peserta, yang akhirnya memperkuat tentang perdebatan peran ilmuwan dan akademisi, misalkan apakah akademisi harus menjadi orang yang obyektif, bebas nilai atau berdiri di suatu pihak. Tradisi di Amerika menempatkan research yang dilakukan oleh profesor untuk menjadi obyektif (membuat ilmu pengetahuan untuk dibaca akademisi lainnya).
Lebih lanjut, Laily menantang peserta untuk memperhatikan fokus kepada penelitian kontekstual, dengan mempertanyakan pengetahuan untuk siapa? Untuk itu, keberpihakan harus jelas. Komitmen terhadap kepedulian sosial itu tinggi.
Narasumber memastikan bahwa terdapat perbedaan struktur akademia di Indonesia dan Amerika. Struktur yang ada di Indonesia sudah diatur oleh pemerintah (seperti PNS dan hal-hal hieraki lainnya), sedangkan struktur yang ada di Amerika berdasar sektor swasta, sehingga lebih bebas.
Secara teknis, kampus Amerika lebih tahu bagaimana menklasifikasikan para akademisi, apa yang dibutuhkan oleh kampus sendiri. Tapi tiadk berarti mereka bebas terhadap struktur. Yang menginterversi dalam struktur Amerika adalah milioner yang memiliki pengaruh dalam kampus. Seperti cermin dari kepentingan ideologis. Ini yang kemudian menjadi masalah besar bagi profesor yabng kritis, jelas Laily panjang lebar (Tia & Aryo).