Semakin Ditindas, Semakin Bergerak

Foto hanya model, bukan orang sebenarnya
Kartini adalah ikon. Ia menjadi figur untuk emansipasi perempuan yang bahkan bukan hanya menjadi milik kebudayaan Jawa. Sebagai sosok yang fenomenal, Kartini sudah ditulis oleh banyak intelektual dalam bentuk kajian ilmiah dan dalam bentuk karya sastra. Pramoedya Ananta Toer menjadi salah satu sastrawan yang leading menggarap Kartini dalam bentuk novel.
Karya Pram tentang Kartini berujudul Panggil Aku Kartini Saja. Novel ini diteliti oleh Ahmad Riyanto, mahasiswa Prodi Soiologi angkatan 2012, dengan judul skripsi “Feminisme Dalam Pemikiran Pramoedya Ananta Toer (Studi Literartur Roman Panggil Aku Kartini Saja)” di bawah bimbingan Drs. Musa, M.Si. Penelitian ini mampu membongkar aspek-aspek feminisme di balik tokoh bernama Kartini. Selain itu, Ahmad menelisik latar belakang sejarah dan sosial sebagai lokus di mana Kartini telah menjadi peristiwa. Mahasiswa asal Madura ini mempunyai ketertarikan terhadap Pram karena faktor karya-karya sastra berupa novel yang ditulis Pram sudah menjadi babon bagi kajian gerakan sastra realis di Indonesia.
“Bagi saya Pram adalah salah satu penulis fenomenal yang dimiliki bangsa ini, dan dari beberapa karyanya Pram sering mencitrakan perempuan yang tertindas atau berjuang untuk kesetaraan haknya, termasuk Kartini sebagai perempuan yang menolak feodalisme dan segala akibat yang ditimbulkan khususnya marjinalisasi terhadap perempuan,” jelas Ahmad panjang lebar.
Kehidupan Kartini berada dalam pusaran feodalisme. Kartini sendiri tumbuh dalam keluarga dan kultur demikian. Tetapi menariknya, Ahmad bisa mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat Kartini keluar/melawan kultur feodalisme. Pendidikan atau literasi menjadi kunci pertama bagi Kartini untuk memupuk kesadaran kritisnya dalam menyikapi situasi patriarki sistem feodal Jawa. Kemampuan untuk menulis surat (baca tulis) dan kemudian bisa berkorespondensi dengan sahabat penanya yang berasal dari Belanda, Estelle Zeehandelaar, menjadi pijakan perjuangan Kartini melawan patriarki dan budaya feodal.
Semangat Kartini di tangan Pram semakin distingtif dengan menunjukkan aspek-aspek perlawanan. Pandangan revolusioner seorang Pram juga menjadi faktor penting dalam menempatkan Kartini sebagai sosok revolusioner. Pram, lewat novel-novelnya, tidak mau tunduk kepada struktur apa pun. Semakin ditindas, spirit perlawanan semakin bergerak melawan (@bjeben).
#SociologicalUpdates