From Magic, Dances, to Café: Memahami Dinamika Tasawuf Milenial

Pada pelaksanaan Annual International Conference on Social Sciences and Humanities (AICoSH) pertama, 25-27 Juni 2019 di Ballroom Hotel New Saphir, salah satu dosen Prodi Sosiologi, Achmad Zainal Arifin, Ph.D, mendapatkan kehormatan untuk menjadi salah satu narasumber. Pada kesempatan tersebut, Achmad Zainal Arifin, Ph.D., yang juga menjabat sebagai Kaprodi Sosiologi, mempresentasikan satu tema yang cukup menarik terkait dengan dinamika perkembangan tasawuf dan tarekat khususnya di kalangan anak muda. Dalam pemaparannya, ia mengungkapkan bahwa fenomena perubahan sosial, khususnya yang dipicu oleh kemajuan teknologi, telah membentuk karakter masyarakat, khususnya kalangan muda sedikit berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Nilai-nilai rasionalitas, individualitas, dan pragmatisme yang menjadi karakter utama masyarakat modern, telah mempengaruhi bergesernya motivasi dan cara mengekspresikan religiusitas kalangan muda. Dalam konteks ini, beliau memaparkan setidaknya ada tiga aspek dalam bertasawuf yang terwakili dalam tiga istilah sebagaimana judul presentasi beliau: magic, dances, dan café.

“Magic” seringkali menjadi salah satu sumber motivasi kalangan muda untuk mau dan rela melafalkan dzikir-dzikir tertentu sampai ratusan atau bahkan ribuan kali dalam sehari. Tentu saja, istilah magic disini lebih diartikan sebagai bentuk dari berbagai kekuatan supranatural, mulai dari kebal terhadap berbagai jenis senjata hingga hal-hal terkait dengan masalah pengasihan (memikat lawan jenis). Motivasi ini setidaknya masih bisa kita temukan pada tradisi-tradisi riyadhoh yang cukup akrab di lingkungan pesantren, khususnya yang masih masuk dalam kategori pesantren tradisional. Dalam konteks kalangan muda, khususnya di wilayah perkotaan, fenomena terkait motivasi semacam ini meskipun masih bisa ditemui, akan tetapi sudah mulai terlihat adanya pergeseran ke arah yang lebih bersifat ekonomis. Salah satu contoh menarik dari fenomena ini adalah munculnya berbagai bentuk usaha kreatif yang membidik pangsa pasar kalangan anak muda yang semakin ingin menunjukkan kesalehan mereka di ranah publik.

Adapun istilah “dances”, menurut beliau, mewakili fenomena model bertasawuf bagi kalangan muda yang menghendaki sesuatu yang baru dan tidak bersifat monoton. Pelaksanaan praktek tasawuf yang selama ini diidentikkan dengan duduk bersila sambil merapalkan berbagai bentuk dzikir dengan menggeleng-gelengkan kepala, dipandang sudah tidak lagi menarik minat kalangan muda perkotaan. Whirling Darvish (tarian berputar) yang diperkenalkan oleh seorang sufi besar, Jalaluddin Rumi, mulai mendapat tempat di hati kalangan muda. Meskipun bukan merupakan bentuk ekspresi baru, namun keberadaan tarian tersebut di Indonesia bisa dikatakan baru berkembang luas beberapa tahun terakhir. Kemunculan berbagai bentuk kegiatan pengajian akbar, sholawatan, dan musik-musik Islami lainnya, dalam satu dasawarsa terakhir juga menunjukkan bahwa kalangan muda lebih menaruh perhatian pada model-model baru dalam mengekspresikan keberagamaan mereka, termasuk dalam bertasawuf.

Terakhir, istilah “café” menjadi hal menarik yang mewakili bagaimana tempat yang identik sebagai tempat bisnis dan nongkrongnya generasi muda juga dimanfaatkan untuk seorang salik menemukan jalan menuju Tuhannya. Gambaran tentang masjid atau musholah kecil, atau yang seringkali juga diistilahkan dengan “zawiyah” (tempat untuk praktek tasawuf), seakan kehilangan kekeramatannya di mata anak muda. Beberapa café pun muncul sebagai alternatif pelaksanaan “latihan” tasawuf di kota-kota besar, semisal Kafe Rumi di Jakarta. Selain itu, munculnya fenomena “Sufi Online” atau yang lebih sering disebut dengan istilah “baiat online” yang dimotori oleh tarekat Naqsyabandi Haqqani juga merepresentasikan bagaimana ruang virtual dimanfaatkan sebagai pintu masuk bagi mereka yang ingin bergabung dengan tarekat dan mendapatkan bimbingan penuh tanpa harus keluar dari kamar pribadinya. Hal ini tentu saja merupakan bentuk adaptasi yang memang sudah seharusnya dilakukan oleh kelompok-kelompok keagamaan agar bisa selalu menarik khususnya bagi kalangan muda yang memang sudah tidak bisa melepaskan diri dari kemajuan teknologi.