Bedah Film Masih Ada Tanda Tanya

Seluruh peserta dan tamu undangan foto bersama usai pemutaran, bedah film “Masih Tanda Tanya”, serta diskusi film,) Senin (26/6/
Laboratorium Sosiologi berkolaborasi dengan Himpunan Mahasiswa Program Studi Sosiologi menggelar pemutaran dan bedah film dengan judul “Masih Tanda Tanya” serta diskusi mengenai film tersebut. Pemutaran film ini diselenggarakan khusus dari penawaran salah satu pemeran film, yaitu Mas Arif (alumni sosiologi UIN Suka, angkatan 2018), yang menyatakan film ini mengangkat nama sosiologi dan diharapkan dapat ditayangkan terlebih dahulu di prodi sebelum akhirnya dapat diakses dan dinikmati melalui kanal youtube. Acara terbuka bagi mahasiswa umum maupun instansi lain dan diselenggarakan di ruang Conference Room, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin (26/6/2023) pagi.
Kegiatan pemutaran, bedah film “Masih Tanda Tanya”, dan diskusi film tersebut menjadi sebuah acara untuk kita memahami bagaimana keterbatasan fisik tidak dijadikan sebuah penghalang untuk berkarya. Film dengan durasi 45 menitan ini digagas oleh Komunitas Film Difabel Netra "SAT ADHIRAJASA" sebagai komunitas yang bergerak dibidang perfilman atau sinematik oleh para teman-teman penyandang disabilitas netra. Sudah ada rekor MURI yang mereka capai diantaranya yaitu Sutradara Difabel Netra Pertama di Indonesia, oleh Aulia Rachmi (Sutradara film “Masih Tanda Tanya”) dan masih ingin mencapai rekor-rekor MURI lainnya dengan membuat film dimana seluruh pemain maupun yang bergerak dibalik proses produksi film seluruhnya adalah difabel netra.
Acara dimulai dengan pembukaan dan sambutan oleh perwakilan panitia penyelenggara, Direktur Laboratorium Sosiologi, Kaprodi Sosiologi, dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora yang diwakili oleh Wakil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama. Rangkaian acara utama yaitu pemutaran film secara kondusif dan dilanjutkan bedah film oleh Bapak B.J. Sujibto, S.Sos.,M.A. sebagai pemantik yang dibersamai oleh pemain film, Mas Arif Prasetyo dan Mas Miftahul Munir. Bapak B.J. Sujbto., S.sos., M.A melihat film ini dengan sudut pandang sosiologi, memberikan beberapa saran sepeti yang beliau sampaikan, bahwa “Bahasa dan simbol romansanya seorang difabel netra belum terlalu ditunjukkan, seharusnya film ini bisa mengkampanyekan bagaimana sudut pandang seorang difabel netra. Ada beberapa scene yang bisa digunakan untuk mengkampanyekan itu, namun romansa dalam konteks difabel netra masih belum terlihat”, demikian kritik Bapak Bje selaku pemantik dalam bedah film ini. Beliau juga menambahi saran, “Dalam film perlu adanya pengambilan sudut pandang yang berani, yaitu menggunakan sudut pandang difabel netra itu sendiri. Jangan mau disetir oleh kebudayaan maupun simbol orang yang normal, seharusnya film bisa memberikan pemahaman kepada publik bahasa maupun simbol seorang difabel netra itu apa saja.”
Kajian mengenai difabelitas atau disabilitas masih sangat terbatas. Studi mengenai sosiologi disabilitas atau difabelitas juga tidak berkembang seperti keilmuan sosiologi yang lain. Bahasan dan wacana yang sering dihadapkan kepada kaum difabel baru sebuah rasa empati dan kasihan. Padahal yang dinantikan oleh kaum difabel adalah wacana inklusivitas yang disambut baik oleh masyarakat dan dunia akademis. Wacana inklusivitas sendiri memang terlihat rapuh jika dilatarkan pada era globalisasi. Wacana inklusivitas tidak memiliki tempat di wacana modernitas karena sifatnya yang sangat bertentangan dengan nilai satu sama lainnya. Post-Modern dan multikulturalisme menjadi jalan keluar bagi perkembangan wacana inklusivitas. Hal ini adalah hal yang sangat sesuai untuk dikampanyekan di Indonesia karena paham multikulturalismenya selalu dimerdekakan.
Mas Arif dan teman-teman komunitas film difabel netra menggunakan media sebagai alat kampanye inclucivity course. Penayangan film dan bentuk kegiatan sejenisnya bertujuan untuk menyatakan bahwa isu inklusivitas bukan hanya tentang rasa empati dan kasihan, melainkan tentang kesetaraan dan kelebihan yang berbeda. Maka memang sangat benar Arif dan lainnya selalu membuat inovasi dan hal lainnya. Seperti layaknya agenda setting, semakin banyak karya yang bertema terkait maka mata media dan masyarakat akan semakin sadar bahwa wacana inklusivitas ini memang ada dan harus diterima di masyarakat luas.
Diskusi dianalisis menggunakan Teori Modernitasnya Anthony Giddens, bagaimana isu difabel dalam perfilman ini yang baru saja dimulai menghadapi modernitas yang selalu berkembang. Bapak Bje memberikan tanggapannya bahwa, “Modernitas itu seperti paradoks, keduanya sama-sama berjalan dan bersinggungan, namun di dalam rute yang berbeda”. Sebagai akhir dalam rangkaian acara, Bapak Bje juga menyampaikan harapannya bahwa komunitas ini bisa bekerjasama dengan Laboratorium Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, project bersama ini bisa mengangkat tema romansa namun dikemas dengan nilai yang lebih sosiologis. Tidak hanya cerita cinta namun juga memberikan kampanye difabel netra menggunakan teori-teori sosiologi seperti teori kebudayaan maupun teori simbol dengan mendorong kebudayaan ke arah simbol-simbol yang dialami oleh difabel netra.